Untuk memenuhi "setoran" tulisan komunitas 1minggu1cerita, aku mau bercerita tentang permulaan aku berobat ke dokter tulang alias orthopedist di salah satu RS yang ada di Jakarta. Sejujurnya aku sudah disuruh ke dokter tulang sama si K dari sejak tahun lalu karena lututku tak kunjung sembuh. Tapi apa daya, rasa mager pergi ke dokter membuatku baru bisa mewujudkannya di awal tahun 2020. FYI, lututku ini sakit akibat jatuh dari motor pada November 2018. Berarti lututku ini tak kunjung sembuh selama satu tahun lebih. Hmmm..
Khawatir, akhirnya aku pun coba berobat ke dokter tulang setelah aku coba tanya-tanya dokter di salah satu aplikasi dokter dan dokter tersebut menyarankanku untuk pergi ke dokter tulang. Kalau pilih RS sih aku asal pilih saja. Terus setelah lihat situs dari RS tersebut, akhirnya aku buat janji untuk ketemu dokter FH karena jam praktek beliau sesuai dengan waktu luangku, yaitu dari pukul 19.00-21.00 WIB. Awalnya aku asal datang saja di tanggal 19 Desember 2019. Tapi ternyata kalau mau ke dokter tulang itu ga bisa dateng gitu aja karena penuh antriannya booo. Jadilah aku buat janji via situs RS tersebut dan kujadwalkan di tanggal 23 Desember 2019 malam.
Eh tapi ternyata rencana tersebut harus kubatalkan karena kantorku mengadakan acara di malam tanggal 23 Desember 2019. Mau ga mau aku jadwal ulang saja di tanggal 27 Desember 2019 malam. Saat itu aku mendapatkan antrian waiting list karena jadwal si dokter FH sudah penuh. Kukira masih bisa lah berobat. Eh tapi sesampainya di RS, antrian benar-benar super panjang. Jam sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB, belum makan malam lagi. Akhirnya si K, yang saat itu menemaniku ke dokter, suggest kami untuk pulang saja karena kami akan kelaparan kalau tetap keukeuh nunggu di sana. Setelah akhirnya aku jadwal ulang di tanggal 3 Januari 2020, kami pun beranjak meninggalkan RS untuk pergi makan malam.
Tanggal 3 Januari 2020 pun tiba. Entah ini pertanda dari Tuhan untuk melarangku pergi atau gimana. Tapi saat itu Jakarta kebanjiran dan akses keluar dari rumahku banjir sepaha. Ga mungkin dong yah aku bela-belain pergi ke dokter dalam keadaan bencana banjir di mana-mana. Lagi-lagi, batal deh aku periksa ke dokter tulang.
Finally, di tanggal 6 Januari 2020 kemarin, akhirnya aku pergi lagi ke RS sesuai janji yang sudah aku buat via situs RS dengan dokter FH kembali. Kali ini jadi nih aku periksa ke dokter tulang. Sejujurnya aku sudah buat jadwal di jam 20.00-20.30 WIB. Tapi sesampainya aku di sana pukul 20.00, aku diharuskan untuk mendaftar kembali ke bagian dokter tulang dan aku harus MENGANTRI dengan antrian 7 pasien lagi.
WHAT?! Jadi sebenarnya sistem buat jadwal itu untuk apa kalau pada akhirnya aku harus antri juga sebanyak 7 pasien?! Mending kalau nunggu 1-2 pasien. Ini 7 pasien loh.
And you know what? Aku baru dipanggil pukul 21.30 WIB. Itu pun aku dilayani oleh susternya dulu dengan menanyakan keluhan apa yang aku rasakan dan disuru menunggu di kasur periksa. Hampir pukul 22.00 aku baru diperiksa oleh dokter FH. Dalam hatiku berkata, sistem RS ini buruk juga ya. Pasien sudah bikin jadwal tapi ga berguna karena harus menunggu hingga 1,5 jam. Sungguh
wasting time.
Oke jadi keluhan yang aku rasakan itu nyeri pada lutut kanan apabila tersentuh. Lebih lagi kalau berlutut. Wah nyeri deh jadi aku ga bisa berlutut. Kalaupun berlutut ya lutut kananku ini jangan sampai bersentuhan. Keluhan lainnya adalah jempol kaki kiriku ini terasa kebas. Keluhan yang ini aku rasakan sejak akhir Oktober 2019. Jadi masih belum lama.
Hasil diagnosis dari dokter tulang mengatakan bahwa lututku ini bisa jadi mengalami inflamasi atau bisa juga ada gumpalan. Untuk memastikannya bisa cek darah (untuk mengetes inflamasi) dan MRI (untuk mengetes adanya gumpalan). Tapi dokter bilang kalau MRI ini akan tidak begitu berguna juga karena kalau gumpalannya kecil, tak akan terlihat. Lalu dokter FH pun memberiku resep obat minum 2 buah dan satu gel. Sedangkan untuk jempol kakiku, faktor penyebabnya adalah sepatu. Dan memang sih ini terjadi setelah aku pakai sepatu hak tinggi dalam jangka waktu lama. Solusi yang diberikan adalah dengan memakai sepatu dengan pad empuk.
Selesai berobat ke dokter tulang, aku diminta untuk membayar ke kasir yang berada di UGD. Kenapa ke UGD? Karena jam sudah menunjukkan pukul 10 malam dan petugas kasir di unit tersebut sudah tutup. Resepnya pun dikirimkan by online dan bisa ditebus di UGD.
Pengalaman uniknya adalah...untuk pergi ke UGD itu kami harus keluar gedung dan pergi ke area UGD. Si K yang menemaniku kembali berobat ke dokter tulang pun bercanda dengan mengatakan "Kita bisa kabur nih. Ga ada yang jagain. Ini RS bikin cobaan aja nyuruh kita bayar di UGD. Mana melewati parkiran lagi untuk pergi ke UGD. Bikin kesempatan kabur lebih besar" Aku pun mengiyakan, apalagi harga yang harus dibayar untuk konsultasi dengan dokter sebesar Rp 600.000. Mahal banget ya! :( FYI, tarif ini dituliskan sendiri oleh dokter FH. Asumsiku sih tarifnya bisa jadi suka-suka dipasang oleh dokternya. Tergantung subjektifitas si dokter tingkat kesulitan konsultasi.
Tapi sebagai pasien yang baik, aku pun pergi ke UGD untuk membayar biaya dokter. Sesampainya di sana, ya namanya juga UGD. Penuh dan petugas sibuk menangani para pasien. Aku antri di belakang sepasang muda mudi dewasa yang sedang menunggu kamar. Yang sakit adalah yang pria, sedang yang wanita bantu memeganggi cairan infus dengan mengulurkan tangannya ke atas supaya cairan infus tetap lebih tinggi daripada si pria. Yang pria komplain ke petugas administrasi meminta kejelasan ketersediaan kamar untuk dirinya. Setelah diminta sabar dan sedang ditanyakan terkait ketersediaan kamar, pria tersebut pun akhirnya menunggu sejenak di depan petugas tersebut. Aku yang juga mengantri untuk sekedar bayar, juga mulai tak sabar dan bilang ke petugas yang lain bahwa aku mau membayar. Kembali, aku pun diminta petugas untuk bersabar.
Beberapa menit kemudia, si pria tersebut mulai habis kesabaran dan mulai marah-marah ke petugas wanita yang sedari tadi dia cecar. Dia sudah menunggu dari jam 7 malam dan kamar untuk dirinya tak kunjung jelas. Wajar sih marah. Dia seperti ditelantarkan dengan selang infus yang sudah terpasang. Dalam hati aku berkata,"Gila juga ini RS. Masa ga ada sistem yang ngasih liat petugas tentang ketersediaan kamar. Kaya sistem kamar di hotel gitu. Kan si petugas jadi ga perlu telpon-telpon untuk menanyakan ada kamar atau tidak. Aneh juga. Kasian kan itu pasien uda terlantar 3 jam tanpa kejelasan kamar."
Lalu tak lama akhirnya petugas lain yang kutanya sebelumnya kembali setelah mengantarkan pasien ke kamar dan melayaniku. Aku pun akhirnya membayar dan resep yang dokter sudah buatkan tidak aku tebus karena pasti akan LAMA lagi nunggu obatnya. Padahal sudah jam setengah 11 malam saat itu. Ga mungkin kan aku nunggu sampai tengah malam hanya demi obat penghilang sakit. Dokter pun bilang kalau sakitku ini tidak berbahaya. Jadi yasudahlah akhirnya aku pun pulang dengan membawa surat rekomendasi tes darah dan MRI, serta struk konsultasi dokter tulang nan mahal itu.
Begitulah pengalamanku berobat ke dokter tulang untuk pertama kalinya. Harga yang harus dibayar untuk mendapatkan kepastian itu memang mahal yak. Hmmm.